Anak kecil kurus itu terduduk di dekat sepedanya yang teronggok di tanah. Menunduk. Sedih. Baru saja dia dimarahin empunya warung karena telur asin yang dititipkannya di sana katanya busuk dan mereka tak mau bayar. Belum hilang sakit hatinya, sebelum sampai ke warung berikut, rantai sepedanya putus dan dia terjungkal sehingga semua telur asin yang dibawanya pecah.
Sesampai di rumah, dia membuka buku tulis kumal dari bawah lemari. Ditulisnya semua peristiwa yang baru saja dialami menjadi sebuah diary yang membantunya untuk tak pernah menyerah pada kehidupan yang sulit.
Kejadian 30-an tahun lalu itu masih membekas di benak Suharjo Nugroho alias Jojo (43). Lahir di Jakarta dari keluarga sederhana, 14 Januari 1975, Jojo kecil memang dididik mandiri dan membantu orang tua untuk meringankan beban keluarga. Sejak SD dia sudah terbiasa berjualan telur asin, dan es teh kebo. Beranjak SMP dia meningkat berjualan tas kanvas di sekolah. Dia ambil langsung dari konveksi dekat rumahnya di Cipadu, Kreo. Keterpaksaaan ini membentuk jiwa entrepreneur-nya.
Meski kehidupannya diwarnai dengan beberapa kejatuhan, tapi pria yang akrab dipanggil Jojo ini tidak pernah menyerah. Kerja keras, ketekunan, idealisme tinggi ditambah keluwesannya berorganisasi membuat karirnya kini semakin cemerlang bahkan didapuk sebagai Ketua Asosiasi Perusahaan Public Relations (APPRI) periode 2017-2020 dan menjadi satu-satunya perwakilan Indonesia untuk PR Organization International (PROI), sebuah asosiasi perusahaan konsultan PR independent terbesar dan tertua di dunia.
“Saya ini sebenarnya lulus SMA tahun 93, tapi karena tidak lulus UMPTN saya mengulang lagi tahun 94. Bapak saya keras, sekolah sejak SD harus negeri. Bukan karena gengsi, tapi karena bapak gak punya uang,” kata Jojo mengenang masa lalunya. “Selama setahun itu saya belajar saja di rumah, gak berani ketemu orang karena malu,” tambah pria yang akhirnya diterima sebagai mahasiswa FISIP UI jurusan Ilmu Komunikasi angkatan 1994.
Saat mahasiswa, krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1998, membuatnya harus bekerja sambil kuliah. Dengan keahliannya menulis, Jojo mulai magang di harian Republika yang kemudian dilanjut bekerja di Media Indonesia edisi Minggu. “Bapak kena PHK waktu itu, jadi saat kawan-kawan berdemo reformasi saya harus bekerja paruh waktu sebagai wartawan. Honornya buat bayar kuliah dan kos,” kenangnya bersemangat. Meski begitu, di tengah kesibukannya sebagai mahasiswa dan wartawan, Jojo masih aktif berorganisasi yang kemudian mengantar dirinya menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi.
Karirnya sebagai jurnalis kandas saat gelombang krisis media tahun 2002. Saat itu perusahaan media online banyak yang tumbang, termasuk dirinya yang terkena PHK massal saat bekerja di Astaga.com. Hampir setahun dia menganggur. Melamar sana sini tidak diterima. Mau minta bantuan alumni, gak tau kemana.
“Saya sempat stress berat karena uang pesangon hampis habis. Mau balik ke rumah malu. Saya marah sekali, buku-buku saya lempar, ijazah saya lempar dan berteriak-teriak percuma saya lulusan FISIP UI kalau cari kerja saja susah!”
Namun ternyata saat itulah titik poin dimana Jojo berkenalan dengan dunia kehumasan. Iseng-iseng nganggur dia membuat komunitas Honda Tiger Mailing List (HTML) yang membawanya berhubungan dengan pabrikan Honda Motor. “Saya masuk ke dunia humas secara tidak sengaja. Latar belakang jurnalis membuat saya ditarik untuk mengurusi media internal perusahaan mereka, hingga mendirikan Departemen PR, dan akhirnya mendapat promosi sebagai Marketing Promotion Head.
Puas di bidang otomotif, saya memutuskan menerima tantangan baru di HM. Sampoerna. Di perusahaan rokok terbesar di Indonesia ini saya belajar banyak tentang dunia humas dari agensi-agensi PR-nya. Tiga tahun setelah itu, saya mendapat tawaran dari teman sesama alumnus FISIP UI untuk membangun agensi PR sendiri, Imogen PR,” kisahnya.
“Ada perdebatan batin kala itu. Apakah tetap berada di zona nyaman, kerja di sebuah perusahaan multinasional hingga pensiun atau mengambil tantangan membangun sebuah agency PR. Ibaratnya, mau jadi kelasi di kapal besar atau kapten di kapal kecil?
Saya sampai disidang oleh mertua karena saya kepala keluarga dan memiliki dua anak yang masih kecil-kecil. Kenapa harus mengambil resiko? Tapi setelah shalat istikharah dan minta doa restu istri dan orang tua saya berteguh untuk mendirikan Imogen PR pada tahun 2010,” kata pria yang murah senyum itu.
Hal yang memantapkan anak ke 3 dari 5 bersaudara itu untuk masuk ke dunia agensi PR adalah kebebasan berkreativitas dan berekspresi seperti ketika dirinya masih menjadi wartawan. “Walaupun awal bekerja di agensi, harus jungkir balik dulu. Saya ingat betul tahun 2011 kami akan ikut pitching sebuah produk es krim dari Unilever, Magnum. Tapi saya tak tahu bagaimana membuat proposal PR untuk consumer product. Kebetulan sebentar lagi saya ulang tahun. Saya kontak beberapa teman yang masih atau pernah bekerja di agensi PR untuk memberi kado ulang tahun berupa proposal. Saya baca satu persatu, saya cari tahu polanya, lalu saya buat rumus, dan Alhamdulillah tembus. Inilah yang jadi tipping point saya dan teman-teman Imogen. Proyek itu berhasil dan viral karena mengusung konsep 360 degrees communication, melibatkan banyak ide dan kepala, mulai dari tim PR, digital, media, hingga brand,” kenangnya.
Dia pun jatuh cinta pada profesi ini dan cukup aktif untuk mendorong kemajuan dunia kehumasan di Indonesia. Belakangan ini Jojo aktif menjadi pembicara tentang dunia humas, dan berkeliling kampus-kampus di Jakarta, Jogja dan Solo, termasuk UGM Yogyakarta, dan Universitas Sebelas Maret Solo. “Itu berawal dari obrolan saya dengan anak-anak magang di Imogen PR. Mereka mengatakan kampus kurang mengajarkan hal-hal praktis. Namun ketika kondisi itu disampaikan ke dosen, dosennya tidak memiliki kemampuan untuk mengajarkan. Jadi mereka berkesimpulan bahwa praktisinya yang harus ke kampus, bicara dengan mahasiswa dan dosen mereka agar updated.”
Berangkat dari hal itu, Jojo merasa bahwa Ikatan Alumni (ILUNI) seharusnya jadi jembatan antara alumni junior serta senior dengan kampus dan teman-teman mahasiswa. Sehingga kita jadi saling kenal dan kekeluargaan terjalin kuat. “Pernah di acara Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi (HMIK) UI mengundang saya dan alumni universitas lain jadi pembicara. Saya tanya, kenapa bukan dari alumni kita sendiri? Jawabnya karena tidak kenal. Lho, padahal kalian punya alumni yang keren-keren,” tutur Jojo bersemangat.
“Problemnya adalah kita saling tidak kenal. Alumni tidak tahu akses ke kampus, mahasiswa juga tidak tahu alumninya ada dimana.
Karena itu ILUNI perlu memformulasikan database alumni yang kuat,” tambahnya. Jadi, gak ada lagi fresh graduate yang hopeless dan marah-marah lempar ijazah seperti saya dulu karena susah dapat pekerjaan,” tandasnya. Semua ini butuh kolaborasi antara alumni, mahasiswa, kampus. “Dengan Kolaborasi Kita, semua harapan mahasiswa, kampus dan alumni bisa terwujud !” Semoga.