Pantai atau Gunung? Saya pasti pilih Gunung. Anak Gunung kata orang, bukan anak pantai. Tapi saya bukan pendaki gunung, atau pecinta alam. Meski saya mengagumi para pecinta alam. Mereka keren.
Waktu masih putih abu-abu, saya mengenal mereka dengan sebutan Trupala, Taruna Pecinta Alam. Saat kuliah, namanya Mahasiswa Pecinta Alam UI. Mapala UI bergaung di telinga. Untuk bergabung, saya tidak sanggup. Tak punya ilmunya, apalagi dananya. Untuk membeli peralatan dasar.
Saya baru mulai naik gunung saat mulai bekerja. Sudah punya uang untuk beli carrier, sepatu gunung, dll. Bersama teman-teman kosan naik Gunung Gede, dan Gunung Slamet. Saking sukanya dengan gunung, waktu mudik ke kampung halaman bapak di Lumajang, Jawa Timur saya dan sedulur iseng naik motor naik ke Gunung Semeru, sampai di Ranu Pane. Pulang pergi, tidak berkemah karena mend
Mungkin turunan. Karena Bapak sebagai putra Lumajang juga lebih suka dataran tinggi. Maklum, Lumajang itu di kaki semeru. Jauh dari pantai. “Ayo kita kemping, ajak anak anak,” kata Bapak setiap kali kami berkunjung. “Nggih Pak nanti kita cari waktu,” saya mengelak. Ternyata waktunya tak permah ketemu, dan Bapak keburu wafat. Kami menyesal. Waktu memang tak permah ada kalau tak sengaja disisipkan.
Tapi Ibu kala itu juga tak setuju. Alasannya kesehatan Bapak. Ibu juga suka gunung meski tak suka dinginnya. Wajar, kecilnya bukan di hulu tapi di hilir. Di anak sungai Barito, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Jadi kalau penat aku tak lari ke hutan lalu belok ke pantai seperti Cinta di AADC. Mungkin aku lari ke gunung lalu belok ke sungai.