Skip to main content

Di era digital yang bergerak cepat ini, satu kesalahan kecil di media sosial bisa berubah menjadi bencana reputasi dalam hitungan jam. Ungkapan ‘netizens are watching you’ bukanlah sekadar peringatan kosong, melainkan kenyataan yang harus dihadapi oleh setiap pengguna—baik individu biasa maupun pejabat publik. Media sosial yang dulu dianggap sebagai ruang pribadi untuk berbagi cerita kini telah berevolusi menjadi ruang publik yang diawasi oleh jutaan netizen.

Sebagai praktisi komunikasi dan pendidik di bidang humas, saya telah menyaksikan sendiri betapa satu kata atau tindakan yang tidak tepat bisa berakibat fatal. Fenomena ‘no viral, no justice’ semakin menunjukkan betapa viralitas di dunia maya dapat mengukir keadilan atau sebaliknya, menghancurkan reputasi seseorang. Di sinilah peran kelompok seperti Social Justice Warriors (SJW) menjadi nyata. Mereka tampil sebagai penjaga keadilan sosial dalam ranah digital dengan cepat mengecam dan mengkritisi setiap pernyataan yang dianggap melanggar norma sosial. Meskipun tidak selalu diterima dengan baik oleh semua pihak, kehadiran mereka menegaskan bahwa di dunia digital, setiap kata dan tindakan akan segera mendapatkan respons publik.

Dari perspektif teori Agenda Setting, media sosial memiliki kekuatan untuk mengorkestrasi narasi melalui viralitas. Media, baik tradisional maupun digital, tidak hanya menyampaikan informasi tetapi juga menentukan isu-isu apa yang menjadi perhatian utama publik. Dalam konteks ini, viralitas sebuah unggahan bisa mengatur agenda publik—menggeser isu-isu lain dan menempatkan narasi tertentu di pusat perhatian. Hal ini terlihat jelas ketika video atau pernyataan kontroversial, seperti kasus-kasus berikut, dengan cepat mendominasi wacana online:

1. Gus Miftah Menghina Penjual Es TehSeorang tokoh agama sekaligus Utusan Khusus Presiden ini tersandung masalah setelah ucapannya dalam sebuah pengajian dianggap merendahkan penjual es teh. Video tersebut dengan cepat menyebar dan menuai kecaman luas dari netizen, hingga akhirnya ia terpaksa meminta maaf kepada pihak yang dirugikan dan masyarakat umum.

2. Karyawan PT Timah Menghina Tenaga Honorer dan Pengguna BPJSSeorang karyawan di Bangka Belitung viral setelah mengunggah video di TikTok yang meremehkan tenaga honorer dan pengguna BPJS. Respons keras datang terutama dari kalangan pekerja honorer, memaksa karyawan tersebut untuk memberikan klarifikasi dan permintaan maaf, dengan menegaskan bahwa pendapatnya tidak mewakili perusahaan

3. Juru Bicara Istana Menggunakan Diksi “Rakyat Jelata”Adita Irawati, Juru Bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan, mendapat kecaman karena penggunaan istilah “rakyat jelata” yang dianggap merendahkan masyarakat kecil. Ia kemudian menyampaikan permintaan maaf, sambil menjelaskan bahwa maksudnya hanya mengacu pada definisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

Di balik fenomena ini, terdapat tantangan ganda yang harus kita hadapi di Indonesia. Di satu sisi, eksposur digital masyarakat sangat tinggi. Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2020, pengguna internet di Indonesia mencapai sekitar 196 juta orang, dengan sebagian besar aktif di media sosial. Namun, di sisi lain, tingkat literasi dasar—khususnya literasi membaca—masih jauh dari ideal. Berdasarkan laporan PISA 2018, rata-rata skor literasi membaca siswa Indonesia hanya mencapai 371, jauh di bawah standar rata-rata negara OECD. Rendahnya kemampuan membaca kritis ini menunjukkan bahwa banyak di antara kita belum cukup siap untuk menyaring dan memahami informasi dengan baik, padahal literasi adalah fondasi dalam berkomunikasi secara efektif dan etis.

*Tulisan ini dimuat di IDN Times, 4 Februari 2025

WeCreativez WhatsApp Support
Tim dukungan pelanggan kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanyakan apa saja kepada kami!
👋 Hai, ada yang bisa saya bantu?