Pandemik Covid-19 membuat informasi membludak tak keruan. Yang mana fakta dan yang mana hoax sulit dibedakan sama seperti membedakan dua orang yang segar bugar berjejer, padahal yang satu sudah terjangkiti Covid-19.
Di Indonesia, yang terjadi adalah informasi soal Covid-19 semakin melimpah dan makin banyak orang pintar (atau mengaku pintar) sehingga khalayak tidak lagi punya waktu untuk memperhatikan mereka satu per satu. Para pejabat bersahutan nyeplas nyeplos sesuka hati, meski para pranata humasnya kembang-kempis memadamkan kebakaran akibat ulah bosnya. Netizen yang maha benar langsung melemparkan nyinyirnya. Dibalas lagi dengan Troops influencer bayaran penguasa. Perang nyinyir pun meledak, follower masing-masing mengikuti, karena orang tak lagi takut berpendapat di internet.
Sementara itu, artikel-artikel di koran dan majalah memang mengutip pendapat para pakar, tapi wartawan seringkali hanya “meminjam nama” untuk mengukuhkan opini mereka sendiri, yang haram masuk dalam berita. Belum lagi, para pakar tidak bisa menyediakan analisis yang lengkap dan komprehensif karena keterbatasan halaman (media cetak) dan format acara yang harus menghibur (televisi).
Para pakar cenderung menjejali khalayak dengan pendapat mereka sendiri, bukannya merangsang publik untuk berpikir secara mandiri. Publik juga lalu menjadi penikmat pengetahuan (voyeur of knowledge), yaitu bangsa yang penduduknya hanya duduk manis menonton para ahli memperdebatkan apa yang mereka anggap penting.
Akhirnya kita tersesat di rimba informasi yang kita menular lebih cepat daripada virus itu sendiri. Orang-orang akan lebih cepat mati karena Infodemik daripada Pandemik. Turut berduka cita. Semoga husnul khatimah. #covid-19 #infodemik #pandemik