Skip to main content

Esai ini adalah bagian pertama dari trilogi “Framing dan Kekuasaan di Tiga Negara.” Seri selanjutnya membahas Amerika Serikat dan Indonesia
Di sebuah kafe kecil di Tomsk, kota universitas di wilayah Siberia, salju turun perlahan di luar jendela. Di dalam, Diah Pitaloka—kawan saya yang sedang menempuh studi magister komunikasi—menyeruput teh hangat sambil bercerita dengan nada yang tenang.

“Di sini,” katanya, “framing itu hak negara.”

Ia tak mengatakannya dengan nada marah. Tidak juga getir. Hanya menyampaikan, seolah itu sesuatu yang biasa, seperti cara orang Rusia menyukai sup bit di tengah cuaca super dingin.

Di Rusia, propaganda bukan sekadar kata.
Ia adalah sistem. Sesuatu yang terlembaga.
Terstruktur. Dan diterima.

Di sini, cerita DIah, framing bukanlah alat siapa saja. Ia bukan bagian dari kebebasan sipil. Ia bukan hak warga. Framing adalah milik negara—dan hanya negara, serta segelintir kelompok yang dianggap ‘sejalan’, yang boleh menggunakannya.

“Kalau mau kritik,” ujar Diah, “sudah ada saluran resminya. Ada forum-forum dialog. Ada jalur aspirasi.” Tapi jangan berharap pada media sosial. Di Rusia, media sosial bukan tempat diskusi. Ia bukan wadah aspirasi. Ia bisa jadi ranjau.

Tapi anehnya, tidak banyak yang mempermasalahkan itu.
Masyarakat tidak gelisah, tidak merasa haknya dirampas.
Karena dalam narasi yang dikuasai negara,
patriotisme bukan sekadar rasa bangga—ia menjadi disiplin emosional.

Ada kepercayaan mendalam bahwa apa pun yang dilakukan pemerintah, bahkan ketika keras atau membungkam, dilakukan demi negara. Demi stabilitas. Demi melindungi identitas Rusia dari yang “asing”, dari yang “mengancam”, dari yang “radikal”.

Dan negara tidak bekerja sendirian. Ia tidak harus selalu bicara langsung. Karena ia punya wajah-wajah lain. Kelompok-kelompok masyarakat, tokoh agama, bahkan influencer—yang semuanya sejalan, yang siap membela narasi resmi. Dengan begitu, framing negara terlihat seperti suara rakyat. Kritik pun tak perlu dijawab oleh pemerintah. Sudah ada yang siap menggugat balik.

Narasi tandingan? Dibiarkan mati pelan-pelan dalam kesenyapan.

Kita bisa melihat ini dalam berbagai isu: dari Perang Ukraina hingga pandemi COVID-19. Saat dunia lain penuh perdebatan, Rusia tampak tenang—karena hanya ada satu narasi. Dan ketika satu suara mendominasi, dunia jadi tampak sederhana. Tidak perlu repot memilih siapa yang benar. Tidak ada ruang untuk ragu.

Tentu, ini memberi ketertiban. Tapi juga kehilangan: kehilangan keberagaman sudut pandang, kehilangan kemungkinan perubahan dari dalam.

Masyarakat Rusia yang saya temui lewat cerita Diah bukan masyarakat yang tertekan. Mereka tidak terengah-engah seperti warga negara represif dalam buku sejarah. Mereka bekerja, belajar, membangun keluarga. Tapi mereka hidup dalam sistem yang tidak memberi ruang bagi perbedaan sebagai kekuatan. Hanya sebagai ancaman.

Di Rusia, framing adalah alat kendali.
Agenda setting adalah perpanjangan tangan dari strategi kekuasaan.
Media bukan institusi independen,
tapi jaringan distribusi legitimasi negara.

Narasi tidak dimaksudkan untuk mengundang dialog, tapi untuk mengarahkan kesepakatan.

Sebagai orang yang tumbuh dalam kebebasan yang belum selesai, saya tak hendak menghakimi Rusia. Saya hanya menatapnya sebagai cermin: bahwa ketertiban bisa datang dari keseragaman, tapi demokrasi hanya lahir dari keberagaman yang dikelola.

Dan ketika framing hanya boleh dimiliki oleh negara, maka suara rakyat berubah menjadi gema—bukan suara.

Oleh: Jojo S. Nugroho, M.Sos – Pakar Komunikasi Krisis, Dosen Humas Universitas Indonesia, Dewan Penasihat Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia (APPRI) dan Ikatan Pranata Humas Indonesia (Iprahumas)

WeCreativez WhatsApp Support
Tim dukungan pelanggan kami siap menjawab pertanyaan Anda. Tanyakan apa saja kepada kami!
👋 Hai, ada yang bisa saya bantu?