Ini bukan judul sinetron baru gantinya Tukang Bubur Naik Haji, melainkan kisah nyata seorang ibu yang saya temui di tanah suci, musim haji tahun lalu.
Sriatun (63) tak pernah bermimpi menginjakkan kaki di masjidil haram, berdiri di hadapan kabah yang begitu agung dan mulia, shalat di belakang maqam Ibrahim, dan minum air zam zam langsung dari sumbernya sebanyak-banyaknya.
“Saya ini orang bodoh dan enggak sekolah, tapi kalau tidak tahu saya nanya biar gak tersesat. Modal saya yang diajarkan orang tua hanya kerja keras, jujur dan doa,” kata perempuan kelahiran Blitar, Jawa Timur ini. Meski sudah berpuluh tahun tinggal di Samarinda, logat medok Jawanya belum hilang.
Dilahirkan di keluarga yang serba kekurangan, masa kecilnya memang keras. Dia mengaku saat kecil sering mencuri buah Keladi dan Nangka. Buat dimakan karena lapar, bukan dijual. “Waktu kecil kan enggak tau mencuri itu dosa,” kenangnya. Sejenak dia terdiam, istighfar dan mendoakan orang-orang yang dulu dia curi buahnya agar diberikan balasan pahala oleh Allah SWT.
Kehidupannya saat beranjak dewasa kemudian, tak seperti sinetron. Tetap saja keras dan penuh pejuangan. Dia menikah dan dibawa suaminya merantau ke Samarinda. Allah masih terus mengujinya. Suaminya meninggal dan dia ditinggalkan sebatang kara. Tak ada harta warisan untuk mencukupi kehidupan, apalagi pulang kampung ke Jawa. Mustahil.
Di tengah ujian yang begitu berat, otaknya harus berpikir kreatif untuk bertahan hidup, menghidupi dirinya dan anak-anak. Dia ingat ada sebuah keahlian yang dimilikinya sejak kecil, membuat tempe. Ibunya memiliki 8 anak, dan sebagai anak kedua terbesar dia harus membantu ibu membuat tempe untuk diijual dan menghidupi keluarga mereka.
Dengan uang yang tersisa di celengan ayam, Sriatun mulai berbelanja bahan-bahan untuk memproduksi tempe. Setelah diolah menjadi Tempe, dia sendiri yang menjajakannya ke warung-warung.
Perlahan tapi pasti, produksinya meningkat. Rupanya masyarakat Samarinda menyukai tempenya, karena lebih segar dan berkualitas baik sehingga nikmat saat dimasak. “Dulu tahun 2007 saya mulai dengan 2,5 kilo, Alhamdulillah sekarang sudah 4 kwintal sehari, dan punya 6 orang pegawai,” ujarnya.
Saat kehidupan mulai membaik, diapun menikah lagi. Tapi Allah SWT masih ingin mencoba kesabarannya. Suaminya terkena penyakit yang mengharuskan cuci darah secara berkala.
Semua cobaan itu tak membuatnya putus asa dalam beribadah. Niatnya untuk menunaikan haji justru semakin kuat. Dia segera mendaftar haji plus dan menabung. Jika menunggu haji reguler, dia tidak yakin masih ada waktu untuk menunggu karena usia sudah tua. Alhamdulillah Allah memberikan jalan dan rejeki hingga dia bisa berangkat bersama suaminya yang sedang sakit.
Tekadnya, hanya satu, dia ingin mengadukan semua persoalan hidupnya kepada Allah langsung di tanah suci, di tempat berdoa yang mustajab. Memohon ampunan, berharap ridho Allah untuk kehidupan yang lebih baik. Bukan untuk dunia yang fana dan sementara, melainkan kehidupan berikutnya yang kekal di akhirat.
“Allahumma anta rabbii laa ilaaha illa anta khalaqtanii wa anaa ‘abduka wa anaa ‘alaa ‘ahdika wa wa’dika mas tatha’tu a’uudzu bika min syarri ma shana’tu abuu-u laka bi ni’matika ‘alayya wa abuu-u bi dzanbii faghfir lii fainnahu laa yaghfirudz dzunuuba illaa ant(a)
“Ya Allah, Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan selain Engkau yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu, aku akan setia pada janjiku pada-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan yang aku perbuat. Kuakui segala nikmat-Mu atasku dan aku akui segala dosaku (yang aku perbuat). Maka ampunilah aku, sesungguhnya tidak ada yang bisa mengampuni dosa kecuali Engkau.” Aamiin.
*
Oleh : Jojo S. Nugroho, Haji Maghfiroh 2018. #haji2019 #kangenmekah #kangenmadinah #kangenhaji #hajimabrur #maghfirah